Ikan
nike adalah schooling dari juvenil ikan Awaous melanocephalus,
dan
banyak
terdapat di Perairan Gorontalo. Klasifikasi ikan nike menurut Saanin (1984) dalam
Yusuf (2011) adalah sebagai berikut:
Kelas
|
:
|
Pisces
|
Sub kelas
|
:
|
Teleostei
|
Ordo
|
:
|
Gobioidea
|
Famili
|
:
|
Gobiidae
|
Genus
|
:
|
Awaous
|
Spesies
|
:
|
Awaous melanocephalus (Bleeker)
|
Gambar 1. Ikan Nike (Awaous
melanocephalus)
Sumber: (Yusuf, 2011)
Ikan nike merupakan kelompok anak ikan dari famili
Gobiidae. Ikan-ikan ini merupakan ikan-ikan kecil dengan panjang maksimum ± 8
cm. Ciri-ciri lain dari ikan nike adalah tidak berwarna atau keputih-putihan
serta tidak bersisik (Tantu, 2001 dalam Yusuf, 2011).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tantu (2001) dalam
Yusuf (2011), bahwa schooling ikan nike terdiri dari juvenil ikan Awaous
melanocephalus dan juvenil ikan Eleotris frusca, dari schooling
tersebut ikan Awaous melanocephalus merupakan
spesies penyusun utama yaitu sebesar 99%, sedangkan ikan Eleotris frusca
hanya merupakan spesies ikutan.
Baca Juga Sebaran Ruaya Ikan Tuna Dengan Cara Teknologi Marking And Tagging
Baca Juga Sebaran Ruaya Ikan Tuna Dengan Cara Teknologi Marking And Tagging
Penangkapan ikan nike oleh nelayan terjadi pada
setiap akhir bulan dalam kalender Qomariah (bulan dilangit) dan ukuran ikan
yang tertangkap pada stadia juvenil (post larva) menggunakan alat
tangkap sejenis beach seines dengan mesh size yang sangat
kecil (kurang dari ½ inchi). Teknik penangkapan dengan mengurung
(melingkari) schooling ikan nike menggunakan pukat, kemudian secara
perlahan-lahan pukat ditarik sambil memperkecil ruang gerak schooling
ikan nike sehingga terjebak masuk dalam kantung pukat (Tantu, 2001 dalam
Yusuf, 2011).
Ikan nike memiliki
kandungan protein yang berbeda. Hasil penelitian Kadir (2008), menunjukkan
perbedaan kadar protein pada ikan nike dari hari pertama dan hari terakhir
kemunculannya. Kadar protein pada ikan nike hari pertama yaitu 2,7315 %
sedangkan pada hari terakhir yaitu 4,083 %. Hasil identifikasi diduga di dalam
ikan nike terdapat asam-asam amino esensial yaitu Leusin, Isoleusin, Metionin
dan Threonin.
·
Pendinginan Ikan
Pengawetan ikan
dengan suhu rendah
merupakan suatu proses
pengambilan/pemindahan panas dari tubuh
ikan ke bahan lain. Adapula yang mengatakan, pendinginan adalah proses
pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan
mempertahankan suhu di ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah
daripada suhu di luar ruangan (Adawyah, 2007). Menurut Junianto
(2003), pada suhu rendah (pendinginan atau pembekuan), proses-proses biokimiawi
yang berlangsung dalam tubuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu ikan
menjadi lambat. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri
pembusuk dalam tubuh ikan juga dapat dihambat, dengan demikian kesegaran ikan
akan semakin lama dipertahankan. Media pendingin yang baik untuk penanganan
ikan salah satunya adalah es.
Penurunan suhu tubuh ikan dengan menggunakan es
sudah banyak dilakukan. Hasil penelitian Ibrahim dkk (2008), bahwa
proses pendinginan dalam kotak styrofoam selama 3 hari tidak memberikan
pengaruh terhadap nilai organoleptik dari ikan bandeng (Chanos chanos
Forsk). Penelitian yang lainnya oleh Nurilmala dkk (2009), menunjukkan
bahwa ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) selama penyimpanan
pada suhu chilling, nilai organoleptik dari ikan mengalami
penurunan seiring dengan semakin lamanya penyimpanan. Penggunaan es dilakukan
untuk dapat mempertahankan mutu ikan.
Penggunaan suhu rendah
yang paling sering dan mudah dilakukan adalah pengesan. Es merupakan media
pendingin yang memiliki beberapa keunggulan yaitu mempunyai kapasitas pendingin
yang besar, tidak membahayakan konsumen, bersifat thermostatik (menjaga
suhu sekitar 0ºC), harganya relatif murah, dan mudah dalam penggunaannya
(Junianto, 2003).
Menurut Afrianto dan
Liviawaty (1989) dalam Mile (2006), ada dua cara teknik pendinginan ikan
dengan es, yaitu:
1.
Tumpukan
Es yang telah disiapkan segera
ditaburkan ke dasar wadah penyimpanan ikan sehingga membentuk lapisan setebal 5
cm. Kemudian ikan yang telah dicampur dengan es dimasukkan ke dalam wadah
tersebut. Pada lapisan ikan paling atas ditutupi dengan es setebal 7 cm, lalu
wadah ditutup agar tidak terjadi kontak dengan udara luar. Es dan ikan ditumpuk
sedemikian rupa sehingga semua ikan tertutup dengan es.
2.
Berlapis
Es ditaburkan di dasar wadah penyimpanan
ikan hingga membentuk lapisan es setebal 5 cm. Selanjutnya di atas lapisan es
tersebut disusun ikan secara teratur dengan bagian perut menghadap ke bawah
agar cairan es yang mencair tidak tergenang di bagian perut ikan. Di atas
lapisan ikan tersebut ditaburkan kembali es setebal 3-5 cm. Usahakan seluruh
tubuh ikan tertutup oleh lapisan es. Kemudian di atas lapisan es ikan disusun
secara teratur. Penyusunan lapisan ikan dan es dilanjutkan terus hingga
mencapai permukaan wadah penyimpanan. Pada bagian paling atas ditaburkan
kembali es hingga membentuk lapisan setebal 7 cm dan selanjutnya wadah ditutup
agar tidak terjadi kontak dengan udara luar. Agar ikan yang terletak dilapisan
paling bawah tidak rusak, sebaiknya tinggi wadah penyimpanan ikan tidak
melebihi 50 cm.
Teknik pendinginan ikan
dengan es yang baik dapat dilakukan dengan cara memberi lapisan es pada dasar
wadah untuk pendinginan, memasukkan ikan ke dalam wadah di atas lapisan es dan
disusun ikan dengan posisi sebelah mata ikan berada di atas yang lain, memberi
lapisan es di atas lapisan ikan dan lapisan paling atas dari susunan es dan
ikan adalah lapisan es (Junianto, 2003).
Es kebanyakan dibuat
dari air tawar dan selebihnya dari air laut. Menurut Adawyah (2007), dilihat
berdasarkan bentuknya ada lima kelompok es sebagai berikut.
a.
Es balok (block ice), yaitu balok
es dengan ukuran 12-60 kg/balok. Sebelum dipakai es balok dipecahkan terlebih
dahulu untuk memperkecil ukuran.
b.
Es tabung (tube ice), yaitu es
berbentuk tabung kecil yang siap untuk dipakai.
c.
Es keping tebal (plate ice),
yaitu es dalam bentuk lempengan yang besar dan tebal 8-15 mm, kemudian
dipecahkan menjadi potongan-potongan kecil dengan diameter kurang dari 5 cm,
agar lebih cepat kontak dengan permukaan ikan.
d.
Es keping tipis/es curah (flake ice),
yaitu lempengan-lempengan tipis dengan tebal 5 mm, diameter 3 cm, merupakan
hasil pengerukan dari lapisan es yang terbentuk di atas permukaan pembeku
berbentuk silinder. Akibat pengerukan itu, ukuran es sudah cukup kecil sehingga
tidak perlu dipecahkan lagi.
e.
Es halus (slush ice), yaitu
butiran-butiran yang sangat halus dengan diameter 2 mm dan tekstur lembek,
umumnya sedikit berair. Mesin yang digunakan berukuran kecil dan produksinya
sedikit, hanya untuk ikan disekitar pabrik.
·
Ikan Segar
Menurut
Afrianto dan Liviawaty (2010), bahwa ikan dikatakan segar apabila
ikan tersebut memiliki kondisi tubuh
sama seperti ikan masih hidup dan belum mengalami perubahan fisik, kimiawi, dan
biologis yang sampai menyebabkan kerusakan berat pada daging ikan. Tingkat
kesegaran ikan sulit dibedakan antara yang satu dengan yang lain. Berdasarkan
penglihatan keduanya tampak memiliki tingkat kesegaran sama, namun ternyata
baru diketahui setelah disimpan. Ikan segar memiliki masa simpan lebih lama
dibandingkan ikan yang kurang segar.
Kesegaran ikan tidak
dapat ditingkatkan, tetapi hanya dapat dipertahankan. Oleh karena itu, sangat
penting untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi setelah ikan mati
agar dapat dilakukan tindakan penanganan dalam upaya mempertahankan kesegaran
ikan. Ikan dikatakan mempunyai kesegaran yang maksimal apabila sifat-sifatnya
masih sama dengan ikan hidup baik rupa, bau, cita rasa, maupun teksturnya.
Apabila penanganan ikan kurang baik maka mutu atau kualitasnya akan turun
(Junianto, 2003).
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI
01-2729.1-2006), bahwa ikan segar adalah produk hasil perikanan dengan bahan
baku ikan yang mengalami perlakuan seperti penerimaan, pencucian, penyiangan
atau tanpa panyiangan, penimbangan, pendinginan dan pengepakan. Ikan segar
harus ditangani, disimpan, didistribusikan
dan dipasarkan dengan menggunakan wadah, cara dan alat yang sesuai dengan
persyaratan teknik sanitasi dan higiene dalam unit pengolahan hasil perikanan (BSN,
2006). Perbedaan antara ikan segar dan ikan busuk dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ciri-Ciri Ikan Segar dan
Ikan Busuk SNI 01–2729.1–2006
Ikan Segar
|
Ikan Busuk
|
|
Mata
|
||
- Cerah, bola mata menonjol, kornea
|
-
|
Bola mata
sangat cekung, kornea
|
jernih
|
agak kuning
|
|
Insang
|
||
- Warna
merah cemerlang tanpa
|
-
|
Warna merah
cokelat ada sedikit
|
lendir
|
putih, lendir tebal
|
|
Lendir
permukaan badan
|
-
Lapisan
lendir jernih, transparan,
- Lendir tebal
menggumpal, warna
mengkilap
cerah
|
kuning
kecokelatan
|
Daging
-
Sayatan
daging sangat cemerlang,
- Sayatan daging
kusam sekali,
spesifik jenis, tidak ada
pemerahan
|
warna
|
merah
|
jelas
|
sekali
|
||
sepanjang tulang belakang,
dinding
|
sepanjang
|
tulang
|
belakang,
|
|||
perut daging utuh
|
dinding perut agak lunak
|
|||||
Bau
|
||||||
- Bau sangat segar, spesifik jenis
|
- Bau busuk jelas
|
|||||
Tekstur
|
||||||
- Padat
elastis bila ditekan
dengan
|
- Sangat lunak, bekas dari jari tidak
|
|||||
jari, sulit
menyobek daging dari
|
hilang bila ditekan, mudah
sekali
|
|||||
tulang belakang
|
menyobek
|
daging
|
dari
|
tulang
|
||
belakang
|
||||||
Sumber:
BSN (2006)
|
Menurut Adawyah (2007),
bahwa ikan segar adalah ikan yang baru saja
ditangkap dan
belum mengalami proses pengawetan maupun pengolahan lebih
lanjut. Ikan
segar dapat diperoleh jika penanganan dan sanitasi yang baik, semakin
lama ikan
dibiarkan setelah ditangkap
tanpa penanganan yang
baik akan
menurunkan
kesegarannya. Berdasarkan kesegarannya, ikan dapat digolongkan
menjadi empat
kelas mutu, yaitu tingkat kesegarannya sangat baik sekali (prima), ikan
yang kesegarannya baik (advanced), ikan yang kesegarannya mundur
(sedang) dan ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk).
Syarat mutu
dan keamanan pangan
ikan segar sesuai
dengan Standar
Nasional
Indonesia ditujukan pada Tabel 2.
Tabel 2. Persyaratan Mutu dan
Kemanan Pangan (SNI 01-2729.1-2006)
Jenis Uji
|
Satuan
|
Persyaratan
|
|
a.
Organoleptik
|
Angka (1-9)
|
7
|
|
b. Cemaran
Mikroba*:
|
|||
- ALT
|
Koloni/gram
|
Maksimal 5 x 105
|
|
- Escherechia
Coli
|
APM/gram
|
Maksimal <
2
|
|
- Salmonela
|
APM/25 gram
|
Negatif
|
|
- V.
cholerae
|
APM/25 gram
|
Negatif
|
|
c. Cemaran
kimia*:
|
|||
- Raksa (Hg)
|
mg/kg
|
Maksimal 0,5
|
|
- Timbal (Pb)
|
mg/kg
|
Maksimal 0,4
|
|
- Histamin
|
mg/kg
|
Maksimal 100
|
|
- Kadmium (Cd)
|
mg/kg
|
Maksimal 0.1
|
|
d. Parasit*
|
ekor
|
Maksimal 0
|
|
*) Bila
diperlukan
|
|||
Sumber
|
:
BSN (2006)
|
||
Keterangan
|
: ALT
: Angka Lempeng Total
|
||
APM : Angka
paling memungkinkan
|
·
Kontaminasi Bakteri Pada Ikan
Menurut Afrianto dan Liviawaty (2010),
bahwa bakteri pada ikan terdapat
di
seluruh permukaan tubuh bagian luar, terutama di bagian kulit (lendir), insang
dan saluran pencernaan. Kepadatan bakteri di ketiga tempat tersebut berbeda,
dimana jumlah bakteri di kulit berkisar 102-104/gram;
insang 103-105/gram;
dan di saluran pencernaan 103-107/gram.
Selama ikan hidup, keberadaan bakteri tersebut relatif tidak merugikan karena ikan
mempunyai pertahanan alami, baik berupa pertahanan fisik atau biokimia.
Ikan yang ditangkap
pada perairan yang terbebas dari polusi hanya mengandung sedikit mikroba pada
permukaannya. Kebanyakan kontaminasi bakteri pada ikan adalah pada saat
pendaratan ikan dan juga proses penanganan serta pada saat proses penyimpanan
(Alfred 1998 dalam Wicaksono 2009).
Aktivitas mikroorgansime dapat menyebabkan berbagai
perubahan biokimiawi dan fisikawi. Kerusakan secara kimiawi dan fisikawi dapat
diketahui secara mudah dengan menggunakan alat indera, sedangkan mikrobiologis
memerlukan waktu untuk analisis karena disebabkan oleh bakteri. Kerusakan
secara kimiawi misalnya adanya perubahan pH daging ikan, timbulnya asam,
sedangkan secara fisikawi dapat diketahui dengan timbulnya lendir, warna
permukaan badan yang suram, dan mata keruh (Hadiwiyoto 1993). Jumlah bakteri
yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat
ikan tersebut hidup. Bakteri yang umumnya ditemukan pada ikan hidup adalah
bakteri Pseudomonas, Alcaligenes, Sarcina, Vibrio, Flavobacterium,
Serratia dan
Bacillus. Pada ikan air
tawar juga terdapat jenis bakteri Aeromonas, Lactobacillus,
Brevibacterium dan
Streptococcus (Junianto 2003).
Indrajaya (2006)
mengemukakan bahwa serangan dan penyebaran bakteri patogen pada ikan
berlangsung begitu cepat dan sewaktu-waktu dapat menyerang dalam waktu relatif
singkat bila kondisi lingkungan relatif buruk. Faktor yang dapat memengaruhi
penyebaran dan penularan bakteri patogen antara lain melalui media air atau
ikan, wadah pengangkut serta melalui manusia. Jenis bakteri yang sering menimbulkan
masalah pada ikan
dalah Aeromonas, Vibrio
sp,
Pseudomonas sp, dan
Mycobarterium sp.
Hasil perikanan yang hidupnya selalu di perairan
yang secara alamiah merupakan tempat hidup mikroorganisme memungkinkan
terjadinya kontaminasi. Beberapa jenis mikroorganisme patogen misalnya Vibrio
cholerae, Salmonella, Staphylococcus aureus serta Listeria
monositogenes yang keberadaannya karena berasal dari manusia. Vibrio
parahaemolyticus secara alamiah ada di perairan pantai dan perlu dibatasi
jumlahnya dalam bahan baku perikanan. Demikian juga adanya Escherichia coli
juga perlu dibatasi karena mikroorganisme ini mencerminkan adanya kontaminasi
dengan faeces manusia/binatang mamalia dan bahkan jumlah total
mikroorganisme pun perlu dibatasi karena akan mempercepat pembusukan dan
merupakan indikator higiene (Sulistijowati dkk, 2011).
·
Proses Kemunduran Mutu Ikan
Proses penurunan
mutu ikan dengan
urutan mulai dari
perubahan pra-
rigormortis, rigormortis, aktifitas
enzim, aktivitas mikroba, dan oksidasi. Semua perubahan ini akan mengarah ke
pembusukan (Junianto 2003).
1. Perubahan Pre
Rigor Mortis
Perubahan pre-rigor
atau sering dikenal dengan istilah hiperaemia merupakan fase yang
terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian yang ditandai dengan peristiwa
terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir yang
dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang
merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri (Junianto 2003).
Lendir-lendir yang terlepas
tesebut membentuk lapisan bening yang tebal disekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir
dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat
terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan
menyelimuti tubuh dapat sangat banyak hingga mencapai 1-2,5 % dari berat
tubuhnya (Afrianto dan Liviawaty, 2010).
2. Perubahan Rigor
Mortis
Rigor mortis yaitu
keadaan ikan menjadi kaku beberapa saat setelah ikan mati. Rigor
pada ikan biasanya berawal dari ekor, berangsur-angsur menjalar ke sepanjang
tubuh ikan hingga kepala sampai seluruh tubuh menjadi kaku (Sulistijowati dkk,
2011). Tekstur daging ikan yang semula kenyal dan elastis berubah secara
bertahap menjadi kaku, keras, dan kehilangan kelenturannya setelah memasuki
tahap rigor mortis. Hal ini dapat terjadi karena aktivitas aktin dan
miosin (Afrianto dan Liviawaty, 2010).
Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari
suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah
kematiannya. Setelah ikan mati, sirkulasi udara berhenti dan suplai oksigen
berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan
ini menyebabkan pH tubuh ikan menurun, diikuti pula dengan penurunan jumlah adenosin
trifosfat (ATP) serta ketidakmampuan jaringan otot mempertahankan
kekenyalannya (Junianto, 2003).
3. Perubahan Post
Rigor Mortis
Fase post rigor ditandai dengan mulai melunaknya
otot ikan secara bertahap. Fase post rigor merupakan permulaan dari proses
pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri. Proses
autolisis adalah terjadinya penguraian daging ikan sebagai akibat
dari aktivitas enzim dalam tubuh ikan (Afrianto dan Liviawaty, 2010).
Proses penguraian jaringan secara enzimatis
(autolisis) berjalan dengan sendirinya setelah ikan mati dengan mekanisme yang
kompleks. Enzim yang berperan dalan proses autolisis, antara lain: katepsin
(dalam daging), enzim tripsin, kemotripsin, dan pepsin (dalam organ pencernaan)
serta enzim dari mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim yang
dapat menguraikan protein (proteolitik) berperan penting dalam proses
kemunduran mutu ikan (Junianto, 2003).
Pembusukan yang
disebabkan oleh aktivitas bakteri tidak akan terjadi sebelum masa rigor mortis
berakhir. Akhir fase rigor saat hasil penguraian makin banyak, kegiatan bakteri
pembusuk mulai meningkat. Bila fase rigor telah lewat (badan ikan mulai
melunak) maka kecepatan pembusukan akan meningkat. Aktivitas bakteri dapat
menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi yang pada akhirnya
menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang menyebabkan ikan menjadi busuk
(Junianto, 2003).
·
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Bakteri
Menurut Afrianto
dan Liviawaty (2010),
faktor-faktor yang dapat
memengaruhi
pertumbuhan bakteri antara lain:
a)
Derajat
Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) lingkungan atau
media tempat hidup akan memengaruhi pertumbuhan bakteri pembusuk. Sebagian
besar bakteri tumbuh dengan baik pada kisaran pH antara 6.6 – 7.5. Bakteri
pembusuk
17
tumbuh baik pada saat ikan mati
karena pH daging ikan berkisar antara
6.4
– 6.8.
b)
Kandungan
Air
Bakteri pembusuk memerlukan air untuk
tumbuh dan berkembang. Sebagian besar bakteri tumbuh baik pada media yang
mempunyai konsentrasi air tinggi. Apabila air dikeluarkan maka pertumbuhan
bakteri akan melambat dan bila di bawah 15% umumnya bakteri tidak akan tumbuh.
c)
Kandungan
Nutrisi
Bakteri dapat tumbuh dan berfungsi
normal membutuhkan nutrisi. Nutrisi yang dibutuhkan dapat berupa sumber karbon,
sumber nitrogen, sumber energi dan faktor pertumbuhan seperti vitamin, mineral.
Nutrisi tersebut dibutuhkan untuk membentuk energi dan menyusun komponen sel.
d)
Temperatur/Suhu
Temperatur/suhu wadah penyimpanan
merupakan faktor ekstrinsik berikutnya yang secara nyata berpengaruh terhadap
proses pembusukan mikrobiologis. Berdasarkan respon terhadap suhu lingkungan,
bakteri dapat dibagi menjadi: (1) Bakteri psikrofilik yang dapat hidup
pada kisaran suhu 15 - 20ºC. Pada suhu di bawah 0ºC tetap tumbuh meskipun
lambat, sedangkan pada suhu 30 – 40ºC tidak dapat tumbuh. (2) Bakteri mesofilik
hidup pada kisaran suhu 30 – 40ºC, bakteri ini tidak dapat
tumbuh pada suhu yang lebih rendah dari 10ºC atau antara 40 – 50ºC. 3) Bakteri termofilik yang dapat hidup
pada suhu 50 – 55ºC. Umumnya bakteri yang menyebabkan pembusukan pada ikan
segar adalah bakteri psikrofilik dan beberapa diantaranya bakteri
mesofilik.
e)
Kelembaban Relatif (Rh)
Kelembaban lingkungan tempat penyimpanan
sangat penting untuk menentukan Aw
(Activity water) dalam bahan pangan dan pertumbuhan bakteri di
permukaan. Kelembaban lingkungan tempat penyimpanan dipengaruhi oleh
temperatur, yaitu pada temperatur tinggi maka kelembaban akan rendah dan
sebaliknya.
·
Parameter Pengujian Mutu Ikan Segar
Untuk menentukan
mutu ikan diperlukan
pengujian. Beberapa cara
pengujian mutu dari ikan segar antara lain pengujian
organoleptik dan mikrobiologis (Penentuan Angka Lempeng Total).
1.Pengujian
Organoleptik
Pengujian organoleptik ini bisa dibilang unik dan
berbeda dengan pengujian menggunakan instrumen atau analisa, karena melibatkan
manusia tidak hanya sebagai objek analisis, tetapi juga sebagai alat penentu
hasil atau data yang diperoleh. Analisis sensori pada dasarnya bersifat
subjektif. Analisis subjektif berkaitan dengan kesukaan dan penerimaan.
Penilaian organoleptik melalui proses penginderaan yang terdiri dari tiga
tahap, yaitu adanya rangsangan terhadap alat indera oleh suatu benda, akan
diteruskan oleh sel-sel saraf dan datanya diproses oleh otak sehingga
memperoleh kesan tertentu terhadap benda tersebut (Setyaningsih dkk,
2010).
Penilaian mutu ikan
segar secara organoleptik selama penyimpanan dingin mengalami penurunan. Hasil
penelitian Taher (2010), bahwa mutu organoleptik ikan mujair (Tilapia
mossambica) segar pada penyimpanan dingin selama 4 hari dikategorikan
ditolak.
Berdasarkan SNI 01-2346-2006, bahwa uji organoleptik
dengan menggunakan metode skoring atau skor mutu berfungsi untuk menilai
suatu sifat organoleptik yang spesifik. Pada uji ini diberikan penilaian
terhadap mutu sensori dalam suatu jenjang mutu. Tujuan uji ini adalah pemberian
suatu nilai atau skor tertentu terhadap karakteristik mutu, yaitu penilaian
terhadap bau, tekstur, daging, lendir permukaan badan dan insang pada ikan nike
segar. Skala angka dan spesifikasi dari ikan segar sudah dicantumkan dalam score
sheet organoleptik. Perhitungan nilai organoleptik dilakukan dengan melihat
lembar score sheet dari panelis ditabulasi dengan mencari hasil
rata-rata setiap panelis pada taraf kepercayaan 95 % (BSN, 2006).
Rumus
perhitungan :
P ( X – 1,96 x
S /
|
< µ <
X + 1,96 x S /
|
= 95%
|
||||||||
Keterangan :P
|
=
|
Selang nilai mutu rata – rata
|
||||||||
X
|
=
|
Nilai mutu
rata – rata
|
||||||||
S
|
=
|
Simpangan baku nilai mutu
|
||||||||
n
|
=
|
Jumlah panelis
|
||||||||
1,96
|
=
|
Koefisien standar deviasi pada
taraf 95%
|
2. Penentuan Angka Lempeng Total (ALT)
Menurut Leksono dan
Amin (2001), bahwa pada awal penyimpanan total bakteri yang terdapat pada ikan
relatif tidak berbeda. Jumlah bakteri semakin meningkat seiring dengan lamanya
penyimpanan. Hal ini dikarenakan lingkungan
yang
optimal untuk pertumbuhan bakteri yang menyebabkan bakteri dapat tumbuh secara
maksimal.
Penentuan angka lempeng total (ALT) merupakan uji
yang bersifat bakterial. Semakin busuk ikan, akan semakin besar pula jumlah
bakterinya. Proses kemunduran mutu secara mikrobiologis diawali dengan
terurainya glikogen dan terbentuknya asam laktat yang diikuti oleh penurunan
derajat keasaman (pH). Daging ikan yang segar pada umumnya tidak mengandung
bakteri (Jaya dkk, 2006).
Berdasarkan SNI 01–2332–3–2006, bahwa penentuan
angka lempeng total dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah mikroorganisme dalam
suatu produk, yang pada prinsipnya jika sel mikroba yang masih hidup
ditumbuhkan pada medium agar, maka sel mikroba tersebut akan berkembang biak
dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata. Penentuan angka
lempeng total dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, metode cawan agar tuang
(pour plate) yaitu dengan menanamkan contoh ke dalam cawan petri
terlebih dahulu kemudian ditambahkan media agar. Kedua, metode cawan agar sebar
(spread plate) yaitu dengan menuangkan terlebih dahulu media agar ke
dalam cawan petri kemudian contoh diratakan pada permukaan agar dengan
menggunakan batang gelas bengkok (BSN, 2006).
Teknik perhitungan
jumlah koloni berdasarkan
SNI 01–2332–3–2006
adalah sebagai
berikut.
a.
Pada penghitungan cawan, jumlah koloni
yang dapat dihitung berkisar 25-250 koloni. Kisaran jumlah ini dianggap cukup
untuk menghindari kesalahan hitung akibat terlalu banyak koloni dalam cawan
sehingga penghitungan dapat dilakukan dengan akurat. Jumlah koloni yang
dihitung dan pengenceran yang digunakan harus dicatat untuk mempermudah
pengecekan. Jumlah hitungan bakteri dari contoh yang diuji akan memperoleh
hasilnya dengan mengalikan faktor pengenceran seperti berikut.
Jumlah Koloni = Jumlah koloni x
|
1
|
||
Faktor Pengenceran
|
|||
2.
Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari
dua angka yaitu angka pertama (satuan) dan angka kedua (desimal). Jika angka
kedua adalah angka genap dan angka ketiga sama dengan lima, maka angka tersebut
dapat dibulatkan menjadi 0. Misalnya 1650 menjadi 1600 dan dilaporkan menjadi
1,6x103 koloni/gram.
3.
Angka dibulatkan menjadi dua angka yang
sesuai, bila angka ketiga enam atau di atasnya, maka angka ketiga menjadi 0 dan
angka kedua naik satu angka, misalnya 456 menjadi 460.
4.
Bila angka ketiga genap atau di
bawahnya, maka angka ketiga menjadi 0 dan angka kedua tetap, misalnya 454
menjadi 450. Bila angka kedua ganjil dan angka ketiganya sama dengan lima, maka
angka tersebut
dapat dibulatkan menjadi 0 dan
angka kedua naik satu angka, misalnya
455 menjadi 460.
5.
Jika pada semua pengenceran dihasilkan
kurang dari 25 koloni pada cawan petri, maka pengencerannya terlalu encer dan
tidak dapat dihitung. Sebaliknya, jika pengenceran hasilnya lebih dari 250,
maka pengenceran yang dilakukan terlalu sedikit dan tidak tercampur dengan baik
pada saat pengocokan, maka koloni tersebut tidak dapat dihitung. Pengenceran
dilakukan duplo, yang bertujuan untuk pembanding data yang dilaporkan.
No comments:
Post a Comment
Tuliskan masukan anda